Kamis, 14 Maret 2013

Inspirasi saya Ir. Sutami..



Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia ke-16

Masa jabatan 27 Agustus 1964 – 17 Oktober 1967
Presiden              Soekarno
Didahului oleh   Soeprajogi
Masa jabatan 17 Oktober 1967 – 29 Maret 1978
Presiden              Soeharto
Digantikan oleh Purnomosidi Hadjisarosa

Informasi pribadi :
Lahir                   19 Oktober 1928 Di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Meninggal           13 November 1980 (umur 52) di Jakarta, Indonesia
Kebangsaan        Indonesia

Ir Sutami (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928 – meninggal 13 November 1980 pada umur 52 tahun)adalah Menteri Pekerjaan Umum Indonesia. Ia menjadi Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 1964 pada Kabinet Dwikora I pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga tahun 1978 pada Kabinet Pembangunan II pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Ir. Sutami yang membantu menghitung konstruksi bangunan Gedung MPR/DPR adalah lulusan Teknik Sipil ITB, 1945, sudah terkenal cerdas sejak menempuh pendidikan dasar dan menengah di Solo, salah satunya di SMA Negeri 1 Surakarta. Ketika menjadi Direktur Hutama Karya (1961-1966), ia menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, Palembang. Dia juga memelopori penggunaan konstruksi beton pratekan saat membangun Jembatan Semanggi. Menteri PU dan Tenaga Listrik pada 1973-1978 ini lahir pada 1928 dan tutup usia pada 13 November 1980.

Gedung MPR/DPR-RI
 Konsep Rancangan yang Unggul dan Inovatif
Gedung MPR/DPR-RI kini menjadi pusat perhatian. Sebab, di gedung parlemen yang berwibawa inilah kembali diadakan sidang-sidang untuk memilih Ketua DPR dan MPR, serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR untuk periode lima tahun mendatang. Dari "kacamata" arsitektur dan desain, apa keunikan gedung atau "rumah" para wakil rakyat ini?

KEWIBAWAAN Gedung MPR/DPR-RI ini sempat hampir pudar, kalau saja Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri pada 21 Mei 1988. Sebelum Soeharto mengundurkan diri, ratusan mahasiswa berhasil masuk dan menduduki kompleks gedung ini. Saat itu gedung benar-benar "diduduki" karena sangat banyak mahasiswa bisa naik dan duduk di atap gedung dalam demonstrasi besar-besaran. Setelah Soeharto mundur, perubahan memang sudah dilakukan sedikit demi sedikit oleh presiden-presiden berikutnya. Oktober 2004 ini, Gedung MPR/DPR kembali dipadati oleh kegiatan penting parlemen dan puncaknya adalah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode lima tahun mendatang.

Berdirinya gedung parlemen Indonesia yang kini disebut Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, diawali dengan semangat revolusioner untuk menyelenggarakan konferensi internasional "Conference of the New Emerging Force" (Conefo). Konperensi internasional yang diprakarsai Presiden Soekarno ini dimaksudkan untuk menggalang kekuatan di kalangan negara-negara baru untuk membentuk tatanan dunia baru. Untuk melaksanakan konperensi inilah perlu dirancang dan dibangun sebuah gedung konferensi. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan kriteria perancangan, bahwa kompleks bangunan yang akan dibangun harus memiliki ciri khas kepribadian Indonesia. Selain itu, bangunan itu juga harus sanggup menjawab tantangan zaman beberapa tahun ke depan. Ada lagi persyaratan tambahan, Gedung Conefo harus menampilkan kemegahan, agar bisa ditampilkan sebagai teladan dan keunggulan karya rancang bangun teknisi Indonesia.

Sejak 8 Maret 1965, diadakan sayembara perancangan Gedung Conefo oleh pemerintah Indonesia. Penyelenggaraan sayembara ini merupakan kesempatan pertama bagi konsultan teknik serta arsitek Indonesia, untuk merancang gedung konperensi yang bisa manandingi Gedung PBB di New York, AS. Sayembara ini diikuti tiga konsultan perencanaan dan peserta perseorangan. Tetapi justru peserta dari unsur peroranganlah yang terpilih sebagai pemenang, yaitu Soejoedi Wirjoatmodjo, Dipl. Ing. Keikutsertaan Soejoedi sebenarnya atas dorongan Menteri PUT Soeprajogi, yang telah mengenalnya sebagai arsitek berprestasi, yang senantiasa bekerja sama dengan Ir. Sutami, teknisi muda yang handal menghitung konstruksi bangunan.

Kemenangan rancangan Soejoedi sangat dibantu dengan pembuatan maket yang melengkapi gambar rancangannya. Keberadaan maket ini sangat memudahkan tim penilai memahami wujud tiga dimensi, bila bangunannya telah selesai. Selain itu, rancangan Soejoedi sangat memudahkan pelaksanaan pembangunan gedung ini, karena bisa dikerjakan secara terpisah-pisah -- namun jika bangunannya telah jadi semua, setiap unit akan saling berkaitan dalam satu kesatuan. Batas akhir penyelesaian proyek Gedung Conefo adalah 17 Agustus 1966. Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-20, seluruh struktur berbagai bangunan telah bisa terwujud. Namun sentuhan akhir pembangunan proyek, terganggu oleh peristiwa G30S/PKI. Menjelang akhir 1966, pasca peristiwa G30S/PKI, berlangsung pembicaraan antara pihak pemerintah dengan pimpinan DPR, untuk membahas gedung yang akan digunakan DPR. Ketua Presidium Kabinet Ampera, Jenderal Soeharto, kemudian mengunjungi bangunan utama Conefo. Sesudah melihat kenyataan di lapangan, Soeharto kemudian memutuskan untuk menggunakan Gedung Conefo menjadi Gedung MPR/DPR, melalui SK Nomor 79/U/Kep/11/1966, tanggal 9 November 1966. Selanjutnya Panitia Proyek Pembangunan Conefo dibubarkan.

Keunikan Atap
 Keunikan dari arsitektur Gedung MPR/DPR RI ini adalah pada bentuk atap gedung ruang sidang utamanya. Atap gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap pesawat terbang. Ide bentuk ini justru muncul pada saat pelaksanaan sayembara perancangan gedung Conefo sudah hampir habis. Dalam situasi terburu-buru, Soejoedi Wiroatmodjo yang sudah hampir menyelesaikan gambar rancangan dan maket gedung, ternyata belum memiliki rancangan atap ruang sidang utama, yang menjadi induk dari kompleks gedung rancangannya.

Sebenarnya, telah ada beberapa alternatif untuk bentuk atap gedung. Yang paling sederhana adalah bentuk struktur kubah beton. Tetapi Ir. Sutami selaku ahli struktur bangunan sejak awal telah memperingatkan tim arsitek, bahwa jika diputuskan memakai atap kubah murni, akan muncul masalah serius. Karena hal ini menyangkut perataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah. Satu saja di antara tiang tersebut melorot, maka akan menimbulkan akibat berantai, seluruh kubah bakal mengalami keretakan, pecah dan akhirnya runtuh.

Konsekuensi logis jika rancangan atap memakai kubah murni, maka seluruh ruang sidang utama harus diberi tambahan balok melingkar yang besar dan tebal. Penambahan tersebut pasti akan menambah beban berat bagi bangunan kubah. Di samping itu, seara arsitektural, balok melingkar ini akan memerlukan sejumlah tiang penopang yang besar-besar, yang pada akhirnya akan mengganggu pandangan di dalam ruang sidang utama. Hadirnya barisan tiang penyangga itu juga akan menyebabkan dampak lanjutan, yaitu mengganggu pembagian ruang-ruang sidang di lantai dasar.

Dalam keadaan mendesak, Soejoedi kemudian menugaskan Ir. Nurpotjo, seorang stafnya untuk membikin maket gedung ruang sidang utama, tetap dengan bentuk kubah murni. Bahan maketnya dibuat dari plastik yang dipres. Karena kesulitan mencari alat pengepresan, maka digunakanlah dua buah kuali penggorengan kue serabi yang diisi air panas. Cara mengepres plastik di antara dua buah kuali ini rupanya tidak pernah membuahkan hasil yang baik, karena selalu saja terjadi keriput-keriputan di puncak kubah.

Dalam keadaan setengah putus asa, Nurpotjo lalu mengambil gergaji dan membelah hasil cetakan menjadi dua bagian. Maksudnya, kalau hasil cetakan kubah plastik tersebut dibelah-belah, maka akan ada beberapa potongan yang tidak kelihatan keriputnya, sehingga bisa digabung menjadi kubah yang utuh.

Dalam keadaan yang kritis itu, Soejoedi datang dan melihat hasil cetakan plastik untuk kubah yang sudah digergaji menjadi dua bagian. Dia tak tahu bahwa hasil cetakan tersebut sebenarnya digergaji karena keputus-asaan Nurpotjo. Tetapi Soejoedi justru sangat tertarik melihat itu, sambil mereka-reka bagaimana kalau kubah murni terbelah dua dan ujungnya diangkat sedikit, itu digunakan sebagai rancangan atap gedung ruang sidang utama. Dia pun segera berkonsultasi kepada Sutami.

Sebagai ahli struktur, Sutami sangat sigap menjawab dan melakukan perhitungan teknis yang diminta Soejoedi. Dalam waktu singkat Sutami langsung membuat sketsa dan memberi jaminan, bahwa tidak ada halangan teknis. Pokoknya bisa dikerjakan. Sutami menjelaskan, struktur yang dibuat ini prinsipnya sama dengan membuat sayap pesawat tebang, memakai prinsip struktur kantilever. Sutami malah berani menjamin, bahwa dengan bentangan 100 meter pun, bentuk struktur ini masih dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, yang berfungsi sebagai badannya adalah dua buah busur beton yang dibangun berdampingan dan akan bertemu pada satu titik puncak.

Struktur berupa sepasang busur beton yang bertemu pada satu titik puncak tersebut harus diteruskan masuk ke dalam tanah, untuk bisa menyalurkan beban. Struktur semacam ini merupakan struktur kesatuan yang sangat kokoh dan stabil, yang nantinya bisa dibebani sayap-sayap berukuran dua kali setengah kubah beton. Penambahan tersebut juga bisa ikut membentuk atap bangunan utama seperti sayap burung Garuda.

Kubah atap ruang sidang utama memang diharapkan menjadi pusat perhatian. Sebab, sejak awal sang arsitek telah memfokuskan titik sentral perhatian pada ruang sidang utama. Bentuk atap gedung tercipta tanpa disengaja itu akhirnya menjadi sangat unik dan merupakan rancangan yang memiliki keunggulan inovatif. Sedangkan rancangan interior dan lansekap gedung ditangani oleh Ir. Slamet Wirosondjaja, MLA bersama sejumlah mahasiswa ITB Bandung. Rancangan lansekapnya tetap mengacu kepada konsep Soejoedi Wirjoatmodjo dan saran-saran Presiden Soekarno. Hal inilah yang menyebabkan lansekap gedung MPR/DPR nampak menyatu dengan keseluruhan unit bangunan dan lingkungan di sekitarnya.

Sang Arsitek
 Kalau saja Soejoedi Wirjoatmodjo tetap aktif di dunia kemiliteran, mungkin Gedung MPR/DPR RI tidak akan seperti sekarang bentuknya. Saat perang kemerdekaan, Soejoedi meninggalkan sekolah untuk menjadi Tentara Pelajar. Soejoedi sempat menjadi Kepala Staf TP Brigade 17 Detasemen II Rayon V Solo. Setelah pengakuan kedaulatan, Soejoedi keluar dari dinas kemiliteran dan melanjutkan studi pada pendidikan arsitektur FT UI di Bandung (kini ITB). Kemudian memperoleh beasiswa di Ecole Superieure des Beaux Arts di Perancis (1954), studi lanjutannya di Techniche Hooge School di Delf, Belanda. Selanjutnya meraih gelar Dip.Ing (1960) di Technische Universitat West Berlin, Jerman dengan predikat Cum Laude. Soejoedi lahir di Rembang pada 1927 dan meninggal dunia pada 1980.

Sedangkan Ir. Sutami yang membantu menghitung konstruksi bangunan Gedung MPR/DPR adalah lulusan Teknik Sipil ITB, 1945, sudah terkenal cerdas sejak menempuh pendidikan dasar dan menengah di Solo. Ketika menjadi Direktur Hutama Karya (1961-1966), ia menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, Palembang. Dia juga memelopori penggunaan konstruksi beton pratekan saat membangun Jembatan Semanggi. Menteri PU dan Tenaga Listrik pada 1973-1978 ini lahir pada 1928 dan tutup usia pada 13 November 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar