Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia ke-16
Presiden Soekarno
Didahului oleh Soeprajogi
Masa jabatan 17 Oktober 1967 – 29 Maret 1978
Presiden Soeharto
Digantikan oleh Purnomosidi
Hadjisarosa
Informasi pribadi :
Lahir 19 Oktober
1928 Di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Meninggal 13
November 1980 (umur 52) di Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Ir Sutami (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928 –
meninggal 13 November 1980 pada umur 52 tahun)adalah Menteri Pekerjaan Umum
Indonesia. Ia menjadi Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 1964 pada Kabinet
Dwikora I pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga tahun 1978 pada
Kabinet Pembangunan II pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Ir. Sutami yang membantu menghitung konstruksi bangunan
Gedung MPR/DPR adalah lulusan Teknik Sipil ITB, 1945, sudah terkenal cerdas
sejak menempuh pendidikan dasar dan menengah di Solo, salah satunya di SMA
Negeri 1 Surakarta. Ketika menjadi Direktur Hutama Karya (1961-1966), ia
menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi,
Palembang. Dia juga memelopori penggunaan konstruksi beton pratekan saat
membangun Jembatan Semanggi. Menteri PU dan Tenaga Listrik pada 1973-1978 ini
lahir pada 1928 dan tutup usia pada 13 November 1980.
Gedung MPR/DPR-RI
Konsep Rancangan yang
Unggul dan Inovatif
Gedung MPR/DPR-RI kini menjadi pusat perhatian. Sebab, di
gedung parlemen yang berwibawa inilah kembali diadakan sidang-sidang untuk
memilih Ketua DPR dan MPR, serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden oleh
MPR untuk periode lima tahun mendatang. Dari "kacamata" arsitektur
dan desain, apa keunikan gedung atau "rumah" para wakil rakyat ini?
KEWIBAWAAN Gedung MPR/DPR-RI ini sempat hampir pudar, kalau
saja Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri pada 21 Mei 1988. Sebelum
Soeharto mengundurkan diri, ratusan mahasiswa berhasil masuk dan menduduki
kompleks gedung ini. Saat itu gedung benar-benar "diduduki" karena
sangat banyak mahasiswa bisa naik dan duduk di atap gedung dalam demonstrasi
besar-besaran. Setelah Soeharto mundur, perubahan memang sudah dilakukan
sedikit demi sedikit oleh presiden-presiden berikutnya. Oktober 2004 ini,
Gedung MPR/DPR kembali dipadati oleh kegiatan penting parlemen dan puncaknya
adalah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode lima tahun
mendatang.
Berdirinya gedung parlemen Indonesia yang kini disebut
Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
ini, diawali dengan semangat revolusioner untuk menyelenggarakan konferensi
internasional "Conference of the New Emerging Force" (Conefo).
Konperensi internasional yang diprakarsai Presiden Soekarno ini dimaksudkan
untuk menggalang kekuatan di kalangan negara-negara baru untuk membentuk
tatanan dunia baru. Untuk melaksanakan konperensi inilah perlu dirancang dan
dibangun sebuah gedung konferensi. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan
kriteria perancangan, bahwa kompleks bangunan yang akan dibangun harus memiliki
ciri khas kepribadian Indonesia. Selain itu, bangunan itu juga harus sanggup
menjawab tantangan zaman beberapa tahun ke depan. Ada lagi persyaratan
tambahan, Gedung Conefo harus menampilkan kemegahan, agar bisa ditampilkan
sebagai teladan dan keunggulan karya rancang bangun teknisi Indonesia.
Sejak 8 Maret 1965, diadakan sayembara perancangan Gedung
Conefo oleh pemerintah Indonesia. Penyelenggaraan sayembara ini merupakan
kesempatan pertama bagi konsultan teknik serta arsitek Indonesia, untuk
merancang gedung konperensi yang bisa manandingi Gedung PBB di New York, AS.
Sayembara ini diikuti tiga konsultan perencanaan dan peserta perseorangan.
Tetapi justru peserta dari unsur peroranganlah yang terpilih sebagai pemenang,
yaitu Soejoedi Wirjoatmodjo, Dipl. Ing. Keikutsertaan Soejoedi sebenarnya atas
dorongan Menteri PUT Soeprajogi, yang telah mengenalnya sebagai arsitek
berprestasi, yang senantiasa bekerja sama dengan Ir. Sutami, teknisi muda yang
handal menghitung konstruksi bangunan.
Kemenangan rancangan Soejoedi sangat dibantu dengan
pembuatan maket yang melengkapi gambar rancangannya. Keberadaan maket ini
sangat memudahkan tim penilai memahami wujud tiga dimensi, bila bangunannya
telah selesai. Selain itu, rancangan Soejoedi sangat memudahkan pelaksanaan
pembangunan gedung ini, karena bisa dikerjakan secara terpisah-pisah -- namun
jika bangunannya telah jadi semua, setiap unit akan saling berkaitan dalam satu
kesatuan. Batas akhir penyelesaian proyek Gedung Conefo adalah 17 Agustus 1966.
Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-20, seluruh struktur berbagai
bangunan telah bisa terwujud. Namun sentuhan akhir pembangunan proyek, terganggu
oleh peristiwa G30S/PKI. Menjelang akhir 1966, pasca peristiwa G30S/PKI,
berlangsung pembicaraan antara pihak pemerintah dengan pimpinan DPR, untuk
membahas gedung yang akan digunakan DPR. Ketua Presidium Kabinet Ampera,
Jenderal Soeharto, kemudian mengunjungi bangunan utama Conefo. Sesudah melihat
kenyataan di lapangan, Soeharto kemudian memutuskan untuk menggunakan Gedung
Conefo menjadi Gedung MPR/DPR, melalui SK Nomor 79/U/Kep/11/1966, tanggal 9
November 1966. Selanjutnya Panitia Proyek Pembangunan Conefo dibubarkan.
Keunikan Atap
Keunikan dari
arsitektur Gedung MPR/DPR RI ini adalah pada bentuk atap gedung ruang sidang
utamanya. Atap gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap pesawat terbang.
Ide bentuk ini justru muncul pada saat pelaksanaan sayembara perancangan gedung
Conefo sudah hampir habis. Dalam situasi terburu-buru, Soejoedi Wiroatmodjo
yang sudah hampir menyelesaikan gambar rancangan dan maket gedung, ternyata
belum memiliki rancangan atap ruang sidang utama, yang menjadi induk dari
kompleks gedung rancangannya.
Sebenarnya, telah ada beberapa alternatif untuk bentuk atap
gedung. Yang paling sederhana adalah bentuk struktur kubah beton. Tetapi Ir.
Sutami selaku ahli struktur bangunan sejak awal telah memperingatkan tim
arsitek, bahwa jika diputuskan memakai atap kubah murni, akan muncul masalah
serius. Karena hal ini menyangkut perataan penyaluran beban gaya vertikal ke
tiang-tiang penopang kubah. Satu saja di antara tiang tersebut melorot, maka
akan menimbulkan akibat berantai, seluruh kubah bakal mengalami keretakan,
pecah dan akhirnya runtuh.
Konsekuensi logis jika rancangan atap memakai kubah murni,
maka seluruh ruang sidang utama harus diberi tambahan balok melingkar yang
besar dan tebal. Penambahan tersebut pasti akan menambah beban berat bagi
bangunan kubah. Di samping itu, seara arsitektural, balok melingkar ini akan
memerlukan sejumlah tiang penopang yang besar-besar, yang pada akhirnya akan
mengganggu pandangan di dalam ruang sidang utama. Hadirnya barisan tiang
penyangga itu juga akan menyebabkan dampak lanjutan, yaitu mengganggu pembagian
ruang-ruang sidang di lantai dasar.
Dalam keadaan mendesak, Soejoedi kemudian menugaskan Ir.
Nurpotjo, seorang stafnya untuk membikin maket gedung ruang sidang utama, tetap
dengan bentuk kubah murni. Bahan maketnya dibuat dari plastik yang dipres.
Karena kesulitan mencari alat pengepresan, maka digunakanlah dua buah kuali
penggorengan kue serabi yang diisi air panas. Cara mengepres plastik di antara
dua buah kuali ini rupanya tidak pernah membuahkan hasil yang baik, karena
selalu saja terjadi keriput-keriputan di puncak kubah.
Dalam keadaan setengah putus asa, Nurpotjo lalu mengambil
gergaji dan membelah hasil cetakan menjadi dua bagian. Maksudnya, kalau hasil
cetakan kubah plastik tersebut dibelah-belah, maka akan ada beberapa potongan
yang tidak kelihatan keriputnya, sehingga bisa digabung menjadi kubah yang
utuh.
Dalam keadaan yang kritis itu, Soejoedi datang dan melihat
hasil cetakan plastik untuk kubah yang sudah digergaji menjadi dua bagian. Dia
tak tahu bahwa hasil cetakan tersebut sebenarnya digergaji karena keputus-asaan
Nurpotjo. Tetapi Soejoedi justru sangat tertarik melihat itu, sambil
mereka-reka bagaimana kalau kubah murni terbelah dua dan ujungnya diangkat
sedikit, itu digunakan sebagai rancangan atap gedung ruang sidang utama. Dia
pun segera berkonsultasi kepada Sutami.
Sebagai ahli struktur, Sutami sangat sigap menjawab dan
melakukan perhitungan teknis yang diminta Soejoedi. Dalam waktu singkat Sutami
langsung membuat sketsa dan memberi jaminan, bahwa tidak ada halangan teknis.
Pokoknya bisa dikerjakan. Sutami menjelaskan, struktur yang dibuat ini
prinsipnya sama dengan membuat sayap pesawat tebang, memakai prinsip struktur
kantilever. Sutami malah berani menjamin, bahwa dengan bentangan 100 meter pun,
bentuk struktur ini masih dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, yang berfungsi
sebagai badannya adalah dua buah busur beton yang dibangun berdampingan dan
akan bertemu pada satu titik puncak.
Struktur berupa sepasang busur beton yang bertemu pada satu
titik puncak tersebut harus diteruskan masuk ke dalam tanah, untuk bisa
menyalurkan beban. Struktur semacam ini merupakan struktur kesatuan yang sangat
kokoh dan stabil, yang nantinya bisa dibebani sayap-sayap berukuran dua kali
setengah kubah beton. Penambahan tersebut juga bisa ikut membentuk atap
bangunan utama seperti sayap burung Garuda.
Kubah atap ruang sidang utama memang diharapkan menjadi
pusat perhatian. Sebab, sejak awal sang arsitek telah memfokuskan titik sentral
perhatian pada ruang sidang utama. Bentuk atap gedung tercipta tanpa disengaja
itu akhirnya menjadi sangat unik dan merupakan rancangan yang memiliki
keunggulan inovatif. Sedangkan rancangan interior dan lansekap gedung ditangani
oleh Ir. Slamet Wirosondjaja, MLA bersama sejumlah mahasiswa ITB Bandung.
Rancangan lansekapnya tetap mengacu kepada konsep Soejoedi Wirjoatmodjo dan
saran-saran Presiden Soekarno. Hal inilah yang menyebabkan lansekap gedung
MPR/DPR nampak menyatu dengan keseluruhan unit bangunan dan lingkungan di
sekitarnya.
Sang Arsitek
Kalau saja Soejoedi
Wirjoatmodjo tetap aktif di dunia kemiliteran, mungkin Gedung MPR/DPR RI tidak
akan seperti sekarang bentuknya. Saat perang kemerdekaan, Soejoedi meninggalkan
sekolah untuk menjadi Tentara Pelajar. Soejoedi sempat menjadi Kepala Staf TP
Brigade 17 Detasemen II Rayon V Solo. Setelah pengakuan kedaulatan, Soejoedi
keluar dari dinas kemiliteran dan melanjutkan studi pada pendidikan arsitektur
FT UI di Bandung (kini ITB). Kemudian memperoleh beasiswa di Ecole Superieure
des Beaux Arts di Perancis (1954), studi lanjutannya di Techniche Hooge School
di Delf, Belanda. Selanjutnya meraih gelar Dip.Ing (1960) di Technische
Universitat West Berlin, Jerman dengan predikat Cum Laude. Soejoedi lahir di
Rembang pada 1927 dan meninggal dunia pada 1980.
Sedangkan Ir. Sutami yang membantu menghitung konstruksi
bangunan Gedung MPR/DPR adalah lulusan Teknik Sipil ITB, 1945, sudah terkenal
cerdas sejak menempuh pendidikan dasar dan menengah di Solo. Ketika menjadi
Direktur Hutama Karya (1961-1966), ia menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan
Jembatan Ampera di Sungai Musi, Palembang. Dia juga memelopori penggunaan
konstruksi beton pratekan saat membangun Jembatan Semanggi. Menteri PU dan
Tenaga Listrik pada 1973-1978 ini lahir pada 1928 dan tutup usia pada 13
November 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar